Kepribadian yang Matang

Apakah kepribadian itu? Kita sering mendengar kata kepribadian. Sedikit banyak kita mengerti apa yang dimaksud dengan kepribadian. Kepribadian sering diartikan sebagai ciri, sifat, karakter, temperamen. Semuanya tidak salah, namun pengertian tersebut kurang lengkap.


Kepribadian seseorang tidak terjadi begitu saja. Kepribadian terbentuk dari hasil interaksi antara faktor bawaan dan faktor lingkungan. Kedua faktor tersebut saling berinteraksi membentuk kepribadian seseorang. Para ahli umumnya berpendapat bahwa kepribadian telah terbentuk pada umur 5 tahun. Setelah itu yang berkembang dari kepribadian adalah pengkayaan dan penghalusan respon-responnya terhadap situasi lingkungan.
Pendapat di atas implisit menyatakan pentingnya pengasuhan anak pada usia 5 tahun pertama kehidupannya, karena pengasuhan di usia ini akan menentukan jalan kehidupan selanjutnya kelak. Itulah sebabnya, mengapa penanganan terhadap anak-anak remaja dan usia selanjutnya, menjadi semakin sulit. Namun fenomena yang sering terjadi, orang tua (pembimbing) biasanya lalai menegakkan prinsip-prinsip pengasuhan/pembinaan yang baik dan bahkan menyerahkan pengasuhan anak mereka yang kecil kepada pembantu atau babysitter!
Uraian di atas menyiratkan bahwa masa lalu mempunyai pengaruh yang penting bagi terbentuknya kepribadian pada masa dewasa. Pengalaman-pengalaman yang positif yang didapat pada masa lampau memungkinkan terbentuknya individu dengan kepribadian yang matang. Sedangkan pengalaman-pengalaman yang merugikan akan membawa andil pada munculnya kepribadian yang rapuh. Perlu dicatat di sini, pengalaman yang positif bukanlah selalu harus berupa pengalaman yang selalu memuaskan keinginan anak, sebaliknya pengalaman merugikan tidaklah dalam arti pengalaman tersebut menyakitkan bagi anak.
Contoh pengalaman yang merugikan sehingga membentuk kepribadian yang rapuh pada masa dewasa adalah sebagai berikut. Sering kali dijumpai banyak anak yang memaksakan keinginannya agar dituruti oleh orang tuanya. Pada anak kecil, anak melakukan temper tantrum (menangis, berteriak, berguling-guling di lantai dan lain-lain) sehingga orang tua sering kali tidak tahan melihatnya dan terpaksa menuruti keinginan si anak. Ketika anak menjadi lebih besar, keahliannya untuk memanipulasi orang tua menjadi semakin canggih, antara lain dengan ancaman mogok sekolah. Akibatnya orang tua menjadi kalang kabut dan menuruti keinginan si anak walaupun kali ini tuntutannya mahal dan mungkin beresiko (meminta sepeda motor misalnya).
Matang tidaknya kepribadian seseorang dapat dilihat dari perilaku dan kecenderungan berperilaku yang dimunculkan, yang cenderung menetap. Orang dikatakan memiliki kepribadian yang matang bila dia dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan tuntutan lingkungan yang senantiasa berubah, dia dapat membawakan dirinya secara fleksibel. Kepribadian yang matang juga ditunjukkan dengan dimilikinya prinsip-prinsip hidup yang jelas, sekaligus kemampuan untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten.
Sebaliknya, kepribadian yang rapuh, kekanak-kanakan dimunculkan dengan tingkah laku – tingkah laku yang tidak adaptif, kaku, menarik diri, impulsif dan labil.

Konsep Modifikasi Tingkah Laku

Pada dasarnya tingkah laku yang dimunculkan oleh individu itu merupakan bentukan dari stimulus yang mendahului dan konsekuensi yang diterima sebagai akibat tingkah laku tersebut.
Stimulus > Respon/tingkah laku > Konsekuensi

Misal, pada contoh di atas, anak melihat mainan (stimulus), kemudian dia bertingkah laku meminta kepada orang tua untuk membelikan mainan tersebut (respon/reaksinya). Bila orang tua membelikan mainan tersebut (konsekuensi), maka di masa mendatang, tingkah laku meminta tersebut akan cenderung diulangi lagi. Sebaliknya bila konsekuensi yang didapat adalah negatif (orang tua tidak membelikan) maka tingkah laku meminta tersebut akan menghilang, cenderung tidak diulangi lagi dan diganti dengan tingkah laku yang lain (menangis, berguling-guling dan sebagainya).
Reaksi-reaksi tertentu yang mendapatkan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan menjadi semakin kuat sehingga semakin mudah dan sering kemunculannya dalam tingkah laku. Sedangkan reaksi/respon yang mendapat konsekuensi yang tidak menyenangkan akan menghilang.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dimengerti pentingnya hadiah dan hukuman dalam membentuk tingkah laku seseorang. Hadiah adalah segala sesuatu yang menyenangkan anak. Hadiah tidak selalu berupa benda, semakin bertambah usia anak, hadiah bisa berujud bermacam-macam: makanan, mainan, belaian, dekapan, senyuman, pujian dan lain-lainnya. Demikian juga hukuman adalah segala sesuatu yang mendatangkan ketidaknyamanan bagi anak: pukulan, tidak boleh menonton tv, teriakan, mengerjakan tugas tambahan, tidak boleh keluar kamar dan lain sebagainya.
Tingkah laku yang terus di ulang-ulang memiliki kencenderungan untuk muncul pada situasi/stimulus yang lainnya. Ini disebut generalisasi. Misalnya: anak yang suka berteriak bila meminta makan di rumah dan mendapat konsekuensi yang positif (teriakannya dipenuhi), akan cenderung menggunakan kebiasaan berteriaknya pada situasi-situasi lainnya seperti misalnya ketika di kelas dia meminta mainan pada temannya.

Membentuk Kepribadian yang Matang


Berdasarkan konsep modifikasi perilaku di atas, kita dapat menerapkannya untuk membentuk anak-anak supaya memiliki kepribadian yang matang. Adapun prinsip-prinsip bimbingan yang mesti dijalankan agar kepribadian anak tumbuh dengan baik adalah sebagai berikut.

1Kenali usia perkembangan anak
Kebanyakan kita tanpa disadari berpikir bahwa anak-anak sama dengan kita, orang dewasa. Kita berpikir bahwa mereka mestinya tahu apa yang kita inginkan lewat apa yang kita katakan. Banyak pembimbing (orang tua, guru) yang mengeluh, karena anaknya sudah diberitahu berulang kali tentang hal yang dilarang, tetapi tetap dilakukan juga. Seolah-olah mereka memang bandel. Benarkah demikian?
Banyak kesalahpahaman dalam pembimbingan terjadi karena kekurangmengertian pembimbing mengenai tahap-tahap perkembangan anak. Setiap tahap perkembangan menghasilkan pola-pola reaksi yang berbeda dari anak, dan ini juga menuntut perbedaan pola pembimbingan/pengasuhan. Anak kecil sebagian besar tidak cukup hanya diberi peringatan berupa kata-kata saja, namun perlu ada bentuk-bentuk yang lain, c/: menyatakan suatu hal berbahaya. Orang tua sering kali kurang berani melakukan tindakan fisik (memukul pantat misalnya) terhadap anaknya yang masih batita. Mereka hanya melarang dengan kata-kata, padahal anak masih belum paham sebagian besar arti dari larangan tersebut, sehingga mereka tetap melakukan saja apa yang mereka inginkan. Untuk memahami anak di setiap usia perkembangan, sudah ada banyak buku/majalah yang ditulis dengan bahasa populer yang bisa dipakai sebagai acuan.

2. Beri kesempatan anak untuk memikirkan akibat perbuatannya
Anak-anak sedini mungkin perlu dilatih untuk memahami hubungan antara perilakunya dengan konsekuensi yang didapat. Dengan demikian nantinya anak-anak akan belajar untuk berhati-hati dalam bertingkah laku karena sudah terbiasa untuk memikirkan resiko dari perbuatan yang dilakukannya. Cara ini bisa dilakukan bila kita memberitahukan terlebih dulu akibat yang diperoleh anak bila dia melakukan tingkah laku tertentu. Misal: beri anak waktu untuk berpikir sebelum dia melakukan sesuatu. (c/ diberi hitungan). Ini membawa manfaat bagi anak untuk mulai berlatih mengontrol keinginannya sendiri dari dalam, bukan karena faktor dari luar.

3. Belajar mengubah cara-cara yang keliru dalam pembimbingan/
pengasuhan
Sering pembimbingan menjadi tidak efektif karena cara yang digunakan kurang tepat. Yang paling umum terjadi adalah perintah, larangan atau pesan yang disampaikan kepada anak terlalu umum dan kurang khusus/spesifik sehingga memungkinkan penafsiran yang luas bagi anak. Misal, mengatakan kepada anak: “Jangan nakal, yaa!” Padahal yang dimaksud adalah jangan memanjat pohon tanpa sepengetahuan kita. Akibatnya, anak menjadi salah tingkah, mungkin justru melakukan hal yang sebenarnya kita larang karena itu menurutnya bukan perbuatan nakal, atau bahkan membentuknya menjadi pribadi yang pasif dan penakut karena menurutnya perintah itu berarti dia tidak boleh melakukan apapun!
Juga kita sering kali menggunakan bahasa “tuduhan” kepada anak dalam menyampaikan suatu hal. Padahal, siapapun orangnya biasanya spontan akan membela diri bila merasa diserang. Alangkah baiknya kita mulai mengganti bahasa tuduhan tersebut dengan bahasa yang melatih anak untuk berempati, sehingga memberi rangsangan kepada dia untuk memahami orang lain.

4. Seimbangkan antara kritikan dan pujian
Seringkali pembimbing/orang tua kurang menyadari bahwa mereka terlalu banyak menuntut dan mengkritik anak dibanding dengan memberi pujian. Misal, anak selama di sekolah telah mulai bersikap proaktif, namun karena pada akhir jam pengajaran dia rewel, orang tua justru memberi perhatian dan mengkritik rewelnya. Akibatnya, sikap proaktif yang mulai ditunjukkan menjadi tidak berarti bagi anak dan anak mungkin akan mengembangkan gambaran diri yang negatif.

5.Tegakkan disiplin yang konsisten
Prinsip yang kelima ini menjadi penting karena justru menjadi inti pengasuhan yang efektif. Pengasuh harus menerapkan aturan yang jelas dan konsisten dari waktu ke waktu, sehingga anak betul-betul berhasil membatinkan aturan tersebut. Konsisten di sini juga dalam pengertian, apa yang dikatakan oleh orang tua harus dilakukan/terjadi. Misal, dalam menjanjikan suatu hadiah atau memberikan ancaman hukuman. Oleh karena itu pengasuh pun harus berhati-hati dalam memberikan janji atau mengeluarkan suatu ancaman.

Penutup
Menjadi pembimbing (orang tua, pendidik dsb.) tidaklah mudah. Dibutuhkan bukan hanya kemauan untuk menjadi pembimbing yang baik, tetapi juga perlu keterampilan yang memadai. Apa yang didapatkan dari pengasuh/pembimbing kita yang dulu tidaklah cukup, kita perlu senantiasa belajar keterampilan-keterampilan yang baru dan membiasakannya dalam keseharian sehingga nantinya mendarah daging dengan sendirinya. Oleh karena itu bicara saja tidak cukup, perlu latihan dan penerapan dalam keseharian. Kiranya Tuhan membimbing dan memberi hikmat!